Category: Drug and Disease

Mekanisme penyakit osteopetrosis

The rare hereditary disease osteopetrosis, merupakan penyakit turunan langka yang ditandai dengan peningkatan kepadatan tulang karena resorpsi tulang yang rendah secara abnormal.

Banyak pasien mengalami mutasi pada gen yang menyandi TCIRG1, suatu subunit dari pompa proton osteoklas V-class, yang aksinya diperlukan untuk mengasamkan ruang antara osteoklas dan tulang.

Pasien lainnya memiliki mutasi pada gen yang menyandi ClC-7, suatu kanal klorida yang berlokalisasi ke ruang dekat tulang. Seperti halnya lisosom, dengan tidak adanya kanal klorida, pompa pompa proton tidak dapat mengasamkan ruang ekstraseluler tertutup, dan dengan demikian, resorpsi tulang tidak berjalan.

IMG_20180318_121924

Pelarutan tulang oleh sel-sel osteoklas terpolarisasi membutuhkan pompa proton kelas V dan kanal klorida ClC-7 (lihat Gambar)

Membran plasma osteoklas dibagi menjadi dua domain yang dipisahkan oleh segel ketat (tight seal) antara cincin membran dan permukaan tulang. Domain membran yang menghadap tulang mengandung pompa proton kelas V dan kanal klorida ClC-7.

Domain membran yang berlawanan mengandung antiporter anion yang menukar ion HCO3- dan Cl-. Operasi gabungan dari tiga protein transport dan karbonat anhidrase ini mengasamkan ruang tertutup dan memungkinkan resorpsi tulang sambil mempertahankan pH netral sitosol.

Ref. Lodish page 510

Paper: Planells-Cases and Jentsch, 2009 (Open access)

Bacaan lebih lanjut:

  • Therapeutic Approaches to Ion Channel Diseases [Article]
  • Disorders of Bone Density, Volume, and Mineralization [Article]
  • Osteoclast Biology [Article]

 

An understanding of cancer cell biology opens the way to new treatments

An understanding of cancer cell biology opens the way to new treatments

The better we understand the tricks that cancer cells use to survive, proliferate, and spread, the better are our chances of finding ways to defeat them. The task is made more challenging because cancer cells are highly mutable and, like weeds or parasites, rapidly evolve resistance to treatments used to exterminate them.

Moreover, because mutations arise randomly, every case of cancer is likely to have its own unique combination of genes mutated. Even within an individual patient, tumor cells do not all contain the same genetic lesions. Thus, no single treatment is likely to work in every patient, or even for every cancer cell within the same patient. And the fact that cancers generally are not detected until the primary tumor has reached a diameter of 1 cm or more – by which time it consists of hundreds of millions of cells that are already genetically diverse and often have already begun to metastasize – makes treatment ever harder still.

Yet, in spite of these difficulties, an increasing number of cancers can be treated effectively. Surgery remains a highly effective tactic, and surgical techniques are continually improving: in many cases, if a cancer has not spread far, it can often be cured simply cutting it out. Where surgery fails, therapies based on the intrinsic peculiarities of cancer cells can be used.

Lack of normal cell-cycle control mechanisms, for example, may help make cancer cells particularly vulnerable to DNA damage: whereas a normal cell will halt its proliferation until such damage is repaired, a cancer cell may charge ahead regardless, producing daughter cells that may die because they inherit too many unrepaired breakages in their chromosomes. Presumably for this reason, cancer cells can often be killed by does of radiotherapy or DNA-damaging chemotherapy that leave normal cells relatively unharmed.

Surgery, radiation, and chemotherapy are long-established treatments, but many novel approaches are also being enthusiastically pursued. In some cases, as with loss of a normal response to DNA damage, the very feature that helps to make the cancer cell dangerous also makes it vulnerable, enabling doctors to kill it with a properly targeted treatment.

Some cancers of the breast and ovary, for example, owe their genetic instability to the lack of a protein (Brca1 or Brca2) needed for accurate repair of double-strand breaks in DNA; the cancer cells survive by relying on alternative types of DNA repair mechanisms. Drugs that inhibit one of these alternative DNA repair mechanisms kill the cancer cells by raising their genetic instability to such a level that the cells die from chromosome fragmentation when they attempt to divide. Normal cells, which have an intact double-strand break repair mechanisms, are relatively unaffected, and the drugs seem to have few side effects.

Another set of strategy aims to use the immune systems to kill the tumor cells, taking advantage of tumor-specific cell-surface molecules to target the attack. Antibodies that recognize these tumor molecules can be produced in vitro and injected into the patient to mark the tumor cells for destruction. Other antibodies, aimed to the immune cells, can promote the elimination of cancer cells by neutralizing the inhibitory cell-surface molecules that keep immune system’s killer cells in check. The latter antibodies have been remarkably effective in clinical trials and, in principle, should be useful for treating a variety of different cancers.

Retype from Essential Cell Biology 4th Ed. Page 720-721

Autoimunitas dan penyakit autoimun

Autoimunitas dan penyakit autoimun

Dalam rangka untuk melindungi tubuh dari infeksi dan neoplasia (ketika antigen baru diekspresikan), sistem kekebalan tubuh (sistem imun tubuh) harus mampu membedakan diri (self) dari yang bukan dirinya (non-self). Sistem imun bawaan menggunakan sejumlah besar reseptor permukaan sel nonklonal (seperti TLR) yang berusaha membedakan secara kasar antara diri dan bukan dirinya untuk mengenali mikroba.  Continue reading “Autoimunitas dan penyakit autoimun”

Mengenal lebih dekat antibiotik rifamisin

Rifamisin (rifamycins) bisa dikatakan antibiotik “aksesori”. Sama seperti dompet bergaya atau kalung berkilau digunakan untuk menghiasi gaun, agen antimikroba ini ditambahkan ke perawatan tradisional yang membutuhkan sedikit penekanan untuk efek yang optimal.

Anggota dan struktur kimia

Rifamisin terdiri dari rifampin (juga disebut rifampisin), rifabutin, rifapentin, dan rifaksimin (Tabel 1). Masing-masing memiliki struktur serupa yang mencakup inti aromatik yang dihubungkan pada kedua ujungnya oleh “pegangan” alifatik (Gambar 1).

6.1

gb 6.1

Mekanisme aksi rifamisin dan resistensi

Rifamisin beraksi dengan menghambat RNA polimerase bakteri. Rifamisin masuk jauh ke dalam terowongan DNA/RNA dari enzim, dan saat bersarang di posisi ini, secara sterik menghalangi perpanjangan/elongasi molekul mRNA yang baru terbentuk.

Resistensi berkembang relatif mudah dan bisa berasal dari salah satu dari beberapa mutasi pada gen bakteri yang menyandi RNA polimerase. Mutasi-mutasi ini masing-masing hanya mengubah satu asam amino di tempat di mana rifamisin berikatan dengan RNA polimerase tetapi cukup untuk mencegah pengikatan.

Karena mutasi tunggal cukup untuk menyebabkan resistensi, rifamisin biasanya digunakan dalam kombinasi dengan agen lain untuk mencegah munculnya strain resisten.

Aktivitas antimikroba rifamisin

Rifamisin sering digunakan dalam rejimen kombinasi untuk pengobatan infeksi mikobakteria (Tabel 2).

Rifampisin

Rifampisin telah digunakan bersama dengan antibiotik lain untuk mengobati infeksi stafilokokus. Rifampisin juga efektif sebagai monoterapi untuk profilaksis terhadap Neisseria meningitidis dan Haemophilus influenzae.

Penggunaan rifampisin tunggal dalam profilaksis dibenarkan oleh fakta bahwa, biasanya, sangat sedikit bakteri yang hadir tanpa adanya penyakit yang jelas, sehingga meminimalkan kemungkinan bahwa mutasi resistansi rifampisin akan terjadi secara spontan.

6.2 t

Rifampin

Rifampin is the oldest and most widely used of the rifamycins. It is also the most potent inducer of the cytochrome P-450 system.

Rifabutin

Rifabutin is favored over rifampin in individuals who are simultaneously being treated for tuberculosis and HIV infection because it inhibits the cytochrome P-450 system to a lesser degree than rifampin or rifapentine and thus can be more easily administered along with the many antiretroviral agents that also interact with this system.

Rifapentin

Rifapentine has a long serum half-life, which has led to its use in once-weekly regimens for immunocompetent patients with tuberculosis.

Rifaksimin

Rifaximin is a poorly absorbed rifamycin that is used for the treatment of travelers’ diarrhea. Because it is not systemically absorbed, it has limited activity against invasive bacteria, such as Salmonella and Campylobacter spp.

Toksisitas

The rifamycins are potent inducers of the cytochrome P-450 system. Thus, they may dramatically affect the levels of other drugs metabolized by this system. Rifamycins also commonly cause gastrointestinal complaints such as nausea, vomiting, and diarrhea and have been associated with hepatitis. Skin rashes and hematologic abnormalities may also occur. Of note, rifampin causes an orange-red discoloration of tears, urine, and other body fluids, which can lead to patient anxiety and the staining of contact lenses. Rifabutin has been associated with uveitis.

Sejarah

Rifififrenchposter

Nama rifamycin diturunkan dari film Prancis berjudul Rififi, yang sedang populer ketika obat ini ditemukan.

Sensi P. History of the development of rifampin. Rev Infect Dis. 1983;5(suppl 3):S402–S406.

The rifamycins are used primarily as components of multidrug regimens for mycobacterial infections and some staphylococcal infections. The ease with which bacteria develop resistance to these agents precludes their use as monotherapy in active disease.

Bacaan lebih lanjut

  • Burman WJ, Gallicano K, Peloquin C. Comparative pharmacokinetics and pharmacodynamics of the rifamycin antibacterials. Clin Pharmacokinet. 2001;40:327–341.
  • Campbell EA, Korzheva N, Mustaev A, et al. Structural mechanism for rifampicin inhibition of bacterial RNA polymerase. Cell. 2001;104:901–912.
  • Huang DB, DuPont HL. Rifaximin—a novel antimicrobial for enteric infections. J Infect. 2005;50:97–106.
  • Munsiff SS, Kambili C, Ahuja SD. Rifapentine for the treatment of pulmonary tuberculosis. Clin Infect Dis. 2006;43:1468–1475.

Pertanyaan/Evaluasi

  1. Rifampin binds bacterial __________________ and inhibits synthesis of __________________.
  2. Rifampin is used primarily in the treatment of diseases caused by __________________ and __________________.
  3. The rifamycins are usually used in conjunction with other antimicrobial agents because __________________ to rifamycins develops during monotherapy.

Jawaban

  1. RNA polymerase; mRNA
  2. mycobacteria, staphylococci
  3. resistance

 

Mekanisme aksi antibodi monoklonal

Antibodi monoklonal sudah banyak masuk ke Indonesia untuk terapi berbagai macam penyakit (kanker, rheumathoid arthtritis/RA, dan penyakit inflamasi lainnya). Mari kita intip mekanisme aksinya.

Pengeblokan ligan

Antibodi ini mencegah pengikatan ligan pada reseptornya. Contoh infliximab yang digunakan pada pengobatan RA, mengikat TNF sehingga tidak bisa berikatan dengan TNFR.

Pengeblokan reseptor

Mekanisme lainnya yaitu mengeblok reseptor, sehingga akan mengganggu pensinyalan. Contohnya efalizumab yang mengeblok protein CD11a yang akan menghambat aktivasi limfosit dan migrasi ke jaringan. Obat ini digunakan untuk pengobatan penyakit autoimun psoriasis.

 

mab

Rheumatoid Arthrtitis: DMARD, disease-modifying antirheumatic drugs

Kenalan dengan agen2 ini mungkin baru 4 tahunan yang lalu waktu bahas topik penyakit Autoimun. DMARD dibagi menjadi 2 yaitu agen sintetik atau agen tradisional atau non-biologis dan agen biologis.

DMARD tradisional contohnya adalah metotreksat, leflunomid, sulfasalazin, tofacitinib, hidroksiklorokuin, dan minosiklin. Sementara agen biologis DMARD beberapa masuk top 10 penjualan obat terlaris 2014 (sudah dibahas di postingan sebelumnya). Apa saja yang termasuk dari agen biologis DMARD? Banyak, berikut list-nya: abatacept (Orencia), anakinra (Kineret), rituximab (Rituxan), tocilizumab (Actemra), tumor necrosis factor (TNF) inhibitors: adalimumab (Humira), certolizumab pegol (Cimzia), etanercept (Enbrel), golimumab (Simponi), infliximab (Remicade).

Membahas/membandingkan efikasi dan efek samping dari keduanya sangat menarik. Adakah teman2 yg mau berbagi mengulas obat di atas di postingan selanjutnya? Jika ada yang tertarik menulis, saya bisa bantu supply bahan-bahannya. Mari menulis supaya awet muda.

From Bench to Bedside: Aplikasi ilmu dasar pada praktek klinis

Istilah “From Bench to Bedside” semakin terkenal dalam bidang medis beberapa tahun terakhir ini. Pada konsep ini, temuan-temuan ilmiah dasar (from bench, meja kerja) diterjemahkan ke intervensi terapi untuk pasien dan untuk meningkatkan pemahaman tentang proses penyakit atau efek terapi (to bedside, ranjang pasien). Bagaimana contohnya? Berikut ini seperti yang disampaikan pagi itu oleh Ikuko Yano, apoteker sekaligus peneliti dari Kyoto University.

Clobazam (CLB) adalah anggota dari 1,5-benzodiazepin yang lebih superior dibanding 1,4-benzodiazepin (diazepam, clonazepam, dan lorazepam). Clobazam digunakan sebagai terapi tambahan (add-on) pada pengobatan epilepsi. Clobazam dimetabolisme menjadi metabolit aktif N-desmetilclobazam (N-CLB); N-CLB dimetabolisme lebih lanjut menjadi metabolit inaktif oleh enzim sitokrom CYP2C19.

Metabolisme clobazam dipengaruhi oleh:

  • induksi/inhibisi enzim oleh obat lain
  • polimorfisme resesif gen CYP2C19 yang menyebabkan fenotip pemetabolisme lemah (poor metabolizer, PM).

Rasio konsentrasi N-CLB/CLB tergantung pada jumlah alel bermutasi dari CYP2C19 (efek dosis gen), dan rasio ini mungkin parameter yang berharga untuk skrining pasien pada risiko efek samping. Dosis rendah clobazam (2.5 mg/hari) sebagai terapi tambahan efektif pada pasien dengan epilepsi kambuhan dan bahwa derajat efektivitas berkorelasi dengan konsentrasi serum N-CLB.

Pada penelitiannya, Ikuko Yano membagi 50 pasien menjadi 3 kelompok berdasarkan polimorfisme CYP2C19 (EM, IM, PM). Kemudian dilakukan analisis hubungan konsentrasi serum CLB dan N-CLB dan frekuensi kejang (seizure).

Hasil menunjukkan efikasi dosis rendah clobazam secara signifikan dipengaruhi oleh fenotip CYP2C19. Pada fenotip PM, konsentrasi serum N-CLB lebih tinggi, begitu juga frekuenzi kejang menjadi berkurang.

Secara sederhana bisa dijelaskan: pada fenotip PM, enzim memetabolisme lebih lanjut N-CBZ (aktif) secara buruk sehingga konsentrasi metabolit aktif tetaplah tinggi. Hal ini berkaitan jumlah kejang yang menurun pada fenotip PM.

Akhirnya mereka menyimpulkan efikasi dosis rendah CLB sebagai terapi tambahan secara signifikan dipengaruhi oleh polimorfisme CYP2C19. Dari sudut pandang praktek klinis (bedside), lebih baik untuk memulai CLB dengan dosis rendah (2,5 mg/hari) pada fenotip PM dan untuk meningkatkan dosis bertujuan untuk mencapai konsentrasi N-CLB 1100 ng/mL sampai diperoleh efek yang diinginkan. Terapi individual seperti ini, dipandu oleh analisis polimorfisme CYP2C19 menjamin efek klinis yang baik tanpa efek samping pada pasien fenotip PM.

Dan tak terasa waktu 40 menit berlalu begitu cepat dan berakhirlah paparan dari beliau. Dilanjutkan dengan istirahat dengan kudapan khas Asia. Penelitian diatas dipaparkan pada acara 6th AASP Conference dua tahun silam, namun teman sejawat tidak usah khawatir untuk membaca lebih lanjut karena tahun ini sudah publish di jurnal berikut ini.

Bacaan lebih lanjut

Hashi S., et al., 2015, Effect of CYP2C19 polymorphisms on the clinical outcome of low-dose clobazam therapy in Japanese patients with epilepsy, Eur J Clin Pharmacol.71(1):51-8.[Link]