Category: Immunology

Faktor-faktor lain dalam autoimunitas

Perkembangan autoimunitas terkait dengan beberapa faktor selain kerentanan gen dan infeksi.

Perubahan anatomi jaringan

Perubahan anatomi pada jaringan, yang disebabkan oleh peradangan (kemungkinan dampak sekunder akibat infeksi), cedera iskemik, atau trauma, dapat menyebabkan paparan antigen diri yang biasanya tersembunyi dari sistem imun tubuh.

Antigen yang diasingkan semacam itu mungkin tidak menyebabkan toleransi diri. Oleh karena itu, jika antigen diri yang tersembunyi sebelumnya dilepaskan, mereka dapat berinteraksi dengan limfosit imunokompeten dan menginduksi respons imun spesifik.

Contoh-contoh antigen yang secara anatomis diasingkan dalam apa yang disebut jaringan “kekebalan istimewa” (immune privileged) termasuk protein intraokular dan sperma (lihat Bab 14). Uveitis pasca-trauma dan orkitis, yang bisa jadi bilateral bahkan ketika trauma unilateral, dianggap karena respon autoimun terhadap antigen diri yang dilepaskan dari lokasi normal oleh trauma.

Pengaruh hormonal

Pengaruh hormonal memainkan peran dalam beberapa penyakit autoimun. Banyak penyakit autoimun memiliki insiden yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria. Misalnya, SLE mempengaruhi wanita sekitar 10 kali lebih sering daripada pria.

Penyakit lupus-like dari tikus (NZB × NZW)F1 berkembang hanya pada betina dan terhambat oleh pengobatan androgen. Apakah dominasi wanita ini disebabkan oleh pengaruh hormon seks atau faktor-faktor terkait jender lainnya tidak diketahui.

Penyakit autoimun merupakan salah satu masalah ilmiah dan klinis yang paling sulit dalam imunologi. Pengetahuan tentang mekanisme patogen saat ini masih belum lengkap, sehingga teori dan hipotesis terus melebihi fakta.

Penerapan kemajuan teknis baru dan pemahaman toleransi diri yang meningkat dengan cepat akan, diharapkan, mengarah pada jawaban yang lebih jelas dan lebih definitif terhadap teka-teki autoimunitas.

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15

Peran infeksi dalam autoimunitas

Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi pada pengembangan dan pemburukan/eksaserbasi autoimunitas. Pada pasien dan beberapa model hewan, onset penyakit autoimun sering dikaitkan dengan atau didahului oleh infeksi.

Dalam sebagian besar kasus, tidak ditemukan mikroorganisme dalam lesi dan bahkan tidak terdeteksi pada individu ketika autoimunitas berkembang. Oleh karena itu, lesi autoimunitas bukan karena agen infeksi itu sendiri tetapi hasil dari respon imun inang yang mungkin dipicu atau tidak diatur dengan sempurna (disregulasi) oleh mikroba.

Infeksi dapat meningkatkan perkembangan autoimunitas oleh dua mekanisme utama (Gambar 15.14).

#1 Induksi respon imun bawaan lokal

Infeksi jaringan tertentu dapat menginduksi respon imun bawaan lokal yang merekrut leukosit ke jaringan dan menghasilkan aktivasi APC jaringan. APC ini mulai mengekspresikan kostimulator dan mensekresikan sitokin-sitokin yang mengaktifkan sel, menghasilkan kerusakan (breakdown) toleransi sel T. Dengan demikian, hasil infeksi dalam aktivasi sel T yang tidak spesifik untuk patogen infeksius; jenis respon ini disebut aktivasi bystander.

Pentingnya ekspresi menyimpang dari kostimulator diajukan oleh bukti eksperimental bahwa imunisasi tikus dengan antigen diri bersama dengan adjuvant kuat (yang meniru mikroba) menghasilkan kerusakan toleransi diri dan perkembangan penyakit autoimun.

Dalam model eksperimental lainnya, antigen virus yang diekspresikan dalam jaringan seperti sel β islet menginduksi toleransi sel T, tetapi infeksi sistemik pada tikus dengan virus menghasilkan kegagalan toleransi dan penghancuran autoimun sel-sel yang memproduksi insulin.

Mikroba juga dapat melibatkan reseptor Toll-like (TLR) pada sel dendritik, yang mengarah ke produksi sitokin pengaktif limfosit, dan pada sel B autoreaktif mengarahkah pada produksi autoantibodi. Peran pensinyalan TLR dalam autoimunitas telah ditunjukkan pada model tikus lupus.

#2 Reaksi silang atau meniru antigen mikroba dengan antigen diri

Mikroba penular mungkin mengandung antigen yang bereaksi silang dengan antigen diri, sehingga respon imun terhadap mikroba dapat menghasilkan reaksi terhadap antigen diri. Fenomena ini disebut mimikri molekuler karena antigen mikroba bereaksi silang atau meniru antigen diri.

Salah satu contoh reaksi silang imunologi antara antigen mikroba dan antigen diri yaitu demam rematik, yang berkembang setelah infeksi streptokokus dan disebabkan oleh antibodi anti-streptokokus yang bereaksi silang dengan protein miokard.

Antibodi ini disimpan di jantung dan menyebabkan miokarditis. Sekuensing DNA mengungkap banyak bagian singkat yang homolog antara protein miokard dan protein streptokokus. Namun, signifikansi homologi terbatas antara antigen mikroba dan antigen diri dalam penyakit autoimun umum masih harus ditetapkan.

Beberapa infeksi dapat melindungi terhadap perkembangan autoimunitas. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa penurunan infeksi meningkatkan kejadian diabetes mellitus tipe 1 dan multiple sklerosis, dan studi eksperimental menunjukkan bahwa pada tikus diabetes non-obese menjadi tertunda terkena diabetes jika tikus terinfeksi.

Hal ini nampak susah dimengerti bahwa infeksi dapat memicu autoimunitas dan juga menghambat penyakit autoimun. Bagaimana mereka dapat mengurangi kejadian penyakit autoimun tidak diketahui.

Mikrobiom usus dan kutaneus dapat mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun. Seperti yang kita bahas pada Bab 14, manusia dihuni oleh mikroba komensal yang mungkin memiliki efek signifikan pada pematangan dan aktivasi sistem imun.

Ide ini didukung oleh temuan bahwa perubahan dalam mikrobiom mempengaruhi kejadian dan keparahan penyakit autoimun dalam model eksperimental. Bagaimana ide ini dapat dimanfaatkan untuk mengobati autoimunitas adalah topik yang sangat menarik.

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15

Abnormalitas gen tunggal (Mendelian) turunan yang menyebabkan autoimunitas

Studi dengan model tikus dan pasien telah mengidentifikasi beberapa gen yang sangat mempengaruhi pemeliharaan toleransi terhadap antigen diri (Tabel 15.5).

Berbeda dengan polimorfisme kompleks yang dijelaskan sebelumnya, cacat gen tunggal ini merupakan contoh gangguan Mendelian di mana mutasi jarang terjadi tetapi memiliki penetrasi yang tinggi, sehingga mempengaruhi sebagian besar individu yang membawa mutasi.

Kami menyebutkan banyak gen ini di awal bab ini, ketika kita membahas mekanisme toleransi diri. Meskipun gen ini terkait dengan penyakit autoimun yang langka, identifikasi mereka telah memberikan informasi berharga tentang pentingnya berbagai jalur molekular dalam pemeliharaan toleransi diri.

Gen yang dikenal berkontribusi pada mekanisme: toleransi pusat (AIRE), pembangkitan dan fungsi Treg (FoxP3, IL2, IL2R), anergi dan fungsi Treg (CTLA4), delesi dari limfosit T dan B perifer (Fas, FasL) , dan inaktivasi sel T patogen pada jaringan mukosa (IL10, IL10R).

Kembali ke subtopik

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15

Polimorfisme pada gen non-HLA yang berhubungan dengan autoimunitas

Analisis keterkaitan penyakit autoimun mencoba untuk mengidentifikasi beberapa gen terkait penyakit dan daerah kromosom di mana identitas dari gen terkait dicurigai tetapi belum ditegakkan.

Teknik studi hubungan genom (genome-wide association studies, GWAS) mendorong identifikasi putatif dari polimorfisme nukleotida (varian) dari beberapa gen yang berhubungan dengan penyakit autoimun, dan ini telah sangat diperluas dengan sekuens genom yang lebih baru. Sebelum membahas tiap gen-gen yang sudah divalidasi, ada baiknya perlu difahami beberapa fitur umum dari ringkasan gen-gen ini.

  • Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, ada kemungkinan bahwa kombinasi dari beberapa polimorfisme genetik yang diwariskan berinteraksi dengan faktor lingkungan menginduksi kelainan imunologi yang menyebabkan autoimunitas. Namun demikian, ada contoh varian gen langka yang membuat kontribusi individu jauh lebih besar untuk penyakit tertentu.
  • Banyak polimorfisme yang terkait dengan berbagai penyakit autoimun berada dalam gen yang mempengaruhi perkembangan dan pengaturan respon imun. Meskipun kesimpulan ini muncul dapat diprediksi, hal tersebut telah memperkuat kegunaan dari pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi gen terkait penyakit.
  • Polimorfisme yang berbeda dapat melindungi terhadap perkembangan penyakit atau meningkatkan kejadian penyakit. Metode statistik yang digunakan untuk studi hubungan genom telah mengungkapkan kedua jenis hubungan.
  • Sebagian besar penyakit terkait polimorfisme terletak di daerah gen non-coding. Hal ini menunjukkan bahwa banyak polimorfisme dapat mempengaruhi ekspresi protein yang disandi.

Beberapa dari banyak gen yang terkait dengan penyakit autoimun manusia, yang telah didefinisikan oleh analisis hubungan, GWAS, dan sekuensing seluruh genom, tercantum dalam Tabel 15.4 dan beberapa dijelaskan secara singkat berikut ini.

PTPN22

Varian protein dari tirosin fosfatase PTPN22, yaitu arginin pada posisi 620 diganti dengan triptofan, berhubungan dengan rheumatoid arthritis (RA), diabetes mellitus tipe 1, tiroiditis autoimun, dan penyakit autoimun lainnya.

Varian terkait penyakit menyebabkan perubahan pensinyalan yang kompleks pada beberapa populasi sel imun. Namun, bagaimana pastinya perubahan ini bisa menyebabkan autoimunitas masih misteri.

NOD2

Polimorfisme pada gen ini berhubungan dengan penyakit Crohn, salah satu jenis penyakit radang usus. NOD merupakan sensor sitoplasma terhadap peptidoglikan bakteri (lihat Bab 4) dan diekspresikan dalam berbagai tipe sel, termasuk sel epitel usus.

Diyakini bahwa polimorfisme terkait penyakit karena menurunnya fungsi NOD2, sehingga tidak dapat memberikan pertahanan yang efektif terhadap mikroba usus tertentu. Akibatnya, mikroba ini mampu melintasi epitel dan memulai reaksi peradangan kronis di dinding usus, yang merupakan ciri khas penyakit radang usus (lihat Bab 14). Penyakit Crohn diyakini sebagai respon yang tidak diregulasi terhadap mikroba komensal dan bukan penyakit autoimun yang sebenarnya.

Protein komplemen

Defisiensi genetik beberapa protein komplemen seperti C1q, C2, dan C4 (lihat Bab 13), berhubungan dengan penyakit autoimun misalnya lupus.

Mekanisme yang diajukan dari hubungan ini bahwa aktivasi komplemen meningkatkan pembersihan kompleks imun yang bersirkulasi dan badan apoptosis. Tanpa adanya protein komplemen, kompleks-kompleks ini terakumulasi dalam darah dan disimpan dalam jaringan dan antigen sel-sel mati akan tetap tinggal di tubuh.

Ada juga beberapa bukti bahwa aktivasi komplemen meningkatkan sinyal pada sel B dan meningkatkan toleransi, tetapi bagaimana atau bahkan jika sistem komplemen diaktifkan oleh antigen diri tidak jelas.

Reseptor IL-23 (IL-23R)

Beberapa polimorfisme dalam reseptor untuk IL-23 dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap penyakit radang usus dan penyakit kulit psoriasis. Di sisi lain, polimorfisme lainnya melindungi perkembangan penyakit di atas. IL-23 merupakan salah satu sitokin yang terlibat dalam pengembangan sel Th17, yang menstimulasi reaksi inflamasi (lihat Bab 10).

CD25 (IL-2Rα)

Polimorfisme mempengaruhi ekspresi atau fungsi CD25, suatu rantai α dari reseptor IL-2, berhubungan dengan multiple sklerosis, diabetes mellitus tipe 1, dan penyakit autoimun lainnya.

Perubahan-perubahan dalam CD25 kemungkinan mempengaruhi pembentukan atau fungsi Treg, meskipun tidak ada bukti definitif untuk hubungan kausal antara kelainan CD25, defek Treg, dan penyakit autoimun.

FcγRIIB

Polimorfisme yang mengubah isoleusin menjadi treonin dalam domain transmembran reseptor penghambat Fc ini (lihat Bab 12) merusak pensinyalan penghambatan dan berhubungan dengan SLE pada manusia.

Delesi genetik pada reseptor ini pada tikus juga menghasilkan penyakit autoimun mirip lupus. Mekanisme yang mungkin dari penyakit ini yaitu kegagalan untuk mengontrol inhibisi umpan balik dimediasi antibodi dari sel B.

ATG16L1

Polimorfisme loss-of-function pada gen ini, yang menggantikan threonin pada posisi 300 dengan alanin, dikaitkan dengan penyakit Crohn. ATG16L1 merupakan salah satu keluarga protein yang terlibat dalam autofagi, respon seluler terhadap infeksi, kekurangan nutrisi, dan bentuk-bentuk stres lainnya. Bagaimana polimorfisme ini berkontribusi terhadap penyakit radang usus tidak diketahui; beberapa kemungkinan mekanisme dibahas pada Bab 14.

Insulin

Polimorfisme pada gen insulin yang menyandikan jumlah variabel dari urutan pengulangan berhubungan dengan diabetes mellitus tipe 1. Polimorfisme ini dapat mempengaruhi ekspresi timus dari insulin. Dipostulasikan bahwa jika protein diekspresikan pada tingkat rendah di timus karena polimorfisme genetik, mengembangkan sel T spesifik untuk insulin mungkin tidak dipilih secara negatif. Sel-sel ini bertahan hidup di repertoar kekebalan yang matang dan mampu menyerang sel islet β yang memproduksi insulin dan menyebabkan diabetes.

Meskipun banyak hubungan genetik dengan penyakit autoimun telah dilaporkan, tantangan selanjutnya yaitu untuk mengkorelasikan polimorfisme genetik dengan patogenesis penyakit. Ada juga kemungkinan bahwa perubahan epigenetik dapat mengatur ekspresi gen dan dengan demikian berkontribusi pada onset penyakit. Kemungkinan ini masih harus ditetapkan.

Kembali ke subtopik

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15

Hubungan alel MHC dengan autoimunitas

Di antara gen yang terkait dengan autoimunitas, hubungan terkuat adalah dengan gen MHC. Bahkan, dalam banyak penyakit autoimun, seperti diabetes mellitus tipe 1, sebanyak 20 atau 30 gen terkait penyakit telah diidentifikasi. Pada sebagian besar penyakit ini, lokus HLA sendiri berkontribusi setengah atau lebih dari kerentanan genetik.

Penentuan HLA dari kelompok besar pasien dengan berbagai penyakit autoimun telah menunjukkan bahwa beberapa alel HLA terjadi pada frekuensi yang lebih tinggi pada pasien ini daripada di populasi umum. Dari penelitian semacam itu, seseorang dapat menghitung hubungan paparan dengan luaran (odds ratio) untuk pengembangan penyakit pada individu yang mewarisi berbagai alel HLA (sering disebut sebagai risiko relatif) (Tabel 15.3).

Hubungan yang paling kuat adalah antara ankylosing spondylitis dan alel HLA kelas I B27. Individu dengan HLA-B27 positif lebih mungkin 100 kali lipat untuk mengembangkan ankylosing spondylitis daripada individu dengan B27-negatif. Baik mekanisme penyakit maupun dasar hubungannya dengan HLA-B27 tidak diketahui.

Hubungan alel kelas II HLA-DR dan HLA-DQ dengan penyakit autoimun telah mendapat perhatian besar, terutama karena molekul MHC kelas II terlibat dalam seleksi dan aktivasi sel T CD4+, dan sel T CD4+ mengatur imunitas humoral dan dimediasi sel tanggapan terhadap antigen protein.

Beberapa sifat dari hubungan alel HLA dengan penyakit autoimun yang patut diperhatikan dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:

  • Hubungan HLA dan penyakit dapat diidentifikasi dengan penentuan serologis dari satu lokus HLA. Namun hubungan yang sebenarnya bisa jadi dengan alel lain yang terkait dengan alel yang dan diwariskan bersamaan. Sebagai contoh, individu dengan alel HLA-DR tertentu (secara hipotetis DR1) mungkin menunjukkan probabilitas yang lebih tinggi untuk mewarisi alel HLA-DQ tertentu (secara hipotetis DQ2) daripada kemungkinan mewarisi alel-alel ini secara terpisah dan secara acak (yaitu, pada kesetimbangan) dalam populasi. Warisan seperti itu adalah contoh dari hubungan yang tidak seimbang. Suatu penyakit dapat ditemukan sebagai DR1 yang dihubungkan oleh pengetikan HLA, tetapi hubungan kausal mungkin sebenarnya dengan DQ2 yang mengandung koin. Kesadaran ini telah menekankan konsep haplotype HLA yang diperluas, yang mengacu pada set gen yang terkait, baik HLA klasik dan gen non-HLA yang berdekatan, yang cenderung diwariskan bersama sebagai satu unit.
  • Dalam banyak penyakit autoimun, polimorfisme nukleotida terkait penyakit menyandi asam amino di celah peptida yang mengikat molekul MHC. Pengamatan ini tidak mengherankan karena residu polimorfik molekul MHC terletak di dalam dan berdekatan dengan celah, dan struktur celah adalah penentu kunci dari kedua fungsi molekul MHC, yaitu, presentasi antigen dan pengenalan oleh sel T (lihat Bab 6).
  • Urutan HLA yang berhubungan dengan penyakit ditemukan pada individu yang sehat. Bahkan, jika semua individu yang memiliki alel HLA terkait penyakit tertentu dipantau secara prospektif, sebagian besar tidak akan pernah mengembangkan penyakit. Oleh karena itu, ekspresi gen HLA tertentu tidak dengan sendirinya penyebab atau prediktor penyakit autoimun, tetapi mungkin salah satu dari beberapa faktor yang berkontribusi terhadap autoimunitas.

Mekanisme yang mendasari hubungan alel HLA yang berbeda dengan berbagai penyakit autoimun masih belum jelas. Pada penyakit di mana alel MHC tertentu meningkatkan risiko, molekul MHC terkait penyakit dapat menampilkan peptida diri dan mengaktifkan sel T patogen, dan ini telah ditetapkan dalam beberapa kasus. Ketika sebuah alel tertentu terbukti protektif, itu dihipotesiskan bahwa alel ini mungkin menginduksi seleksi negatif dari beberapa sel T yang berpotensi patogen, atau mungkin mempromosikan perkembangan Tregs.

Kembali ke subtopik

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15

Dasar genetik autoimunitas

Dari studi awal penyakit autoimun pada pasien dan hewan percobaan, telah dipahami bahwa penyakit ini memiliki komponen genetik yang kuat.

Sebagai contoh, diabetes mellitus tipe 1 menunjukkan konkordansi 35% hingga 50% pada kembar monozigotik dan hanya 5% hingga 6% pada kembar dizigotik, dan penyakit autoimun lainnya menunjukkan bukti serupa dari kontribusi genetik.

Analisis keterkaitan dalam keluarga, studi hubungan genome, dan upaya sekuensing skala besar mengungkapkan informasi baru tentang gen yang dapat memainkan peran kausal dalam pengembangan autoimunitas dan gangguan inflamasi kronis. Dari penelitian ini, beberapa sifat umum kerentanan genetik telah menjadi jelas.

Kebanyakan penyakit autoimun bersifat poligenik kompleks di mana individu yang terkena mewarisi beberapa polimorfisme genetik yang berkontribusi terhadap kerentanan penyakit, dan gen ini bertindak dengan faktor lingkungan untuk menyebabkan penyakit.

Beberapa polimorfisme ini terkait dengan beberapa penyakit autoimun, menunjukkan bahwa gen penyebab mempengaruhi mekanisme umum pengaturan kekebalan dan toleransi diri.

Lokus lain terkait dengan penyakit tertentu, menunjukkan bahwa mereka dapat mempengaruhi kerusakan organ atau limfosit autoreaktif kekhususan tertentu.

Setiap polimorfisme genetik membuat kontribusi kecil untuk pengembangan penyakit autoimun tertentu dan juga ditemukan pada individu yang sehat tetapi pada frekuensi yang lebih rendah daripada pada pasien dengan penyakit.

Diajukan bahwa pada masing-masing pasien, beberapa polimorfisme seperti itu diperhitungkan secara koin dan bersama-sama menyebabkan perkembangan penyakit.

Memahami interaksi berbagai gen dengan satu sama lain dan dengan faktor lingkungan adalah salah satu tantangan di bidang ini.

Gen-gen yang memiliki karakteristik terbaik yang terkait dengan penyakit autoimun dan pemahaman kita saat ini tentang bagaimana mereka berkontribusi terhadap hilangnya toleransi diri dijelaskan di sini.

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15

Abnormalitas imunologi mendorong pada autoimunitas

Beberapa kelainan imunologi telah paling sering dikaitkan dengan perkembangan autoimunitas pada manusia dan model eksperimental. Kelainan utama tersebut adalah sebagai berikut:

Toleransi diri yang rusak

Eliminasi atau regulasi sel T atau B yang tidak adekuat, yang menyebabkan ketidakseimbangan antara aktivasi dan kontrol limfosit, merupakan penyebab yang mendasari semua penyakit autoimun.

Potensi autoimunitas ada pada semua individu karena beberapa kekhususan yang dihasilkan secara acak dari klon limfosit yang berkembang mungkin untuk antigen diri, dan banyak antigen diri yang mudah diakses oleh limfosit.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, toleransi terhadap antigen diri biasanya dipertahankan oleh proses seleksi yang mencegah pematangan beberapa limfosit antigen-spesifik diri dan dengan mekanisme yang menonaktifkan atau menghapus limfosit yang self-reaktif yang matang.

Hilangnya toleransi diri dapat terjadi jika limfosit self-reaktif tidak dihilangkan atau tidak aktif dan jika APC diaktifkan sehingga antigen diri disajikan ke sistem imun tubuh dengan cara imunogenik.

Model eksperimental dan studi terbatas pada manusia menunjukkan bahwa salah satu mekanisme berikut dapat berkontribusi pada kegagalan toleransi diri:

○ Cacat dalam penghilangan (seleksi negatif) sel T atau B atau pengeditan reseptor pada sel B selama pematangan sel-sel ini di organ limfoid generatif

○ Nomor yang rusak atau fungsi limfosit T regulator

○ Apoptosis yang rusak dari limfosit matang yang reaktif sendiri

○ Fungsi reseptor penghambat yang tidak adekuat

Tampilan antigen diri yang tidak normal

Kelainan mungkin termasuk peningkatan ekspresi dan persistensi antigen diri yang biasanya dibersihkan, atau perubahan struktural pada antigen ini yang dihasilkan dari modifikasi enzimatik atau dari stres atau cedera seluler.

Jika perubahan ini mengarah pada tampilan epitop antigenik yang tidak hadir secara normal, sistem imun mungkin tidak toleran terhadap “neoantigen” ini, sehingga memungkinkan respon anti-diri untuk berkembang.

Peradangan atau respon imun bawaan awal

Sebagaimana telah kita bahas dalam bab-bab sebelumnya, respon imun bawaan merupakan stimulus yang kuat untuk aktivasi limfosit berikutnya dan pembentukan respons imun adaptif.

Infeksi atau cedera sel dapat menimbulkan reaksi imun bawaan lokal dengan peradangan. Hal ini dapat berkontribusi pada perkembangan penyakit autoimun, mungkin dengan mengaktifkan APC, yang mengatasi mekanisme pengaturan dan menghasilkan aktivasi sel T yang berlebihan.

Banyak perhatian baru-baru ini berfokus pada peran sel T dalam autoimunitas karena dua alasan utama.

Pertama, sel Th merupakan pengatur utama dari semua respon kekebalan terhadap protein, dan sebagian besar antigen diri yang terlibat dalam penyakit autoimun adalah protein.

Kedua, beberapa penyakit autoimun secara genetik terkait dengan MHC (kompleks HLA pada manusia), dan fungsi molekul MHC yaitu menyajikan antigen peptida ke sel T. Kegagalan toleransi diri dalam limfosit T dapat menyebabkan penyakit autoimun di mana kerusakan jaringan disebabkan oleh reaksi kekebalan yang dimediasi sel. Abnormalitas sel Th juga dapat menyebabkan produksi autoantibodi karena sel T pembantu diperlukan untuk produksi antibodi afinitas tinggi terhadap antigen protein.

Pada bagian berikut, kami menggambarkan prinsip-prinsip umum patogenesis penyakit autoimun, dengan penekanan pada kerentanan gen, infeksi, dan faktor-faktor lain yang berkontribusi pada pengembangan autoimunitas. Kami akan menjelaskan patogenesis dan fitur dari beberapa penyakit autoimun ilustrasi dalam Bab 19.

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15

Toleransi sel B periferal

Limfosit B matang yang mengenali antigen diri dalam jaringan perifer tanpa adanya sel Th spesifik dapat diberikan secara fungsional tidak responsif atau mati oleh apoptosis (Gambar 15.12).

Sinyal dari sel Th mungkin tidak ada jika sel T ini dibuang atau anergi atau jika antigen diri adalah antigen nonprotein. Karena antigen diri biasanya tidak menimbulkan respon imun bawaan, sel B juga tidak akan diaktifkan melalui reseptor komplemen atau reseptor pengenalan pola.

Jadi, seperti pada sel T, pengenalan antigen tanpa rangsangan tambahan menghasilkan toleransi. Mekanisme toleransi periferal juga menghilangkan klon sel B autoreaktif yang dapat dihasilkan sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan dari mutasi somatik di pusat-pusat germinal.

Anergi dan penghapusan

Beberapa sel B self-reaktif yang berulang kali dirangsang oleh antigen diri menjadi tidak responsif terhadap aktivasi lebih lanjut.

Sel B anergik membutuhkan lebih tinggi dari tingkat normal faktor pertumbuhan BAFF (faktor aktivasi sel B, juga disebut BLys [B lymphocyte stimulator]) untuk bertahan hidup, dan mereka tidak dapat bersaing dengan sel B naif normal untuk BAFF.

Akibatnya, sel B yang mengalami antigen diri memiliki rentang hidup yang lebih pendek dan dieliminasi lebih cepat daripada sel yang tidak mengenali antigen diri.

Sel B yang berikatan dengan aviditas tinggi pada antigen diri di perifer juga dapat mengalami kematian apoptosis melalui jalur mitokondria.

Memberi sinyal dengan reseptor penghambat

Sel B yang mengenali antigen diri dapat dicegah untuk merespon dengan keterlibatan berbagai reseptor penghambat.

Fungsi reseptor penghambat ini yaitu untuk mengatur ambang untuk aktivasi sel B, yang memungkinkan respon terhadap antigen asing karena ini biasanya memperoleh sinyal kuat dari kombinasi BCR, koreseptor, reseptor imun bawaan, dan sel Th (untuk antigen protein), tetapi tidak memungkinkan respon terhadap antigen diri, yang hanya melibatkan BCR.

Mekanisme toleransi perifer ini diungkap oleh penelitian yang menunjukkan bahwa tikus dengan defek pada SHP-1 tirosin fosfatase, Lyn tyrosine kinase, dan reseptor penghambatan FcγRIIb dan CD22 mengembangkan autoimunitas.

Motif aktivasi tirosin berbasis Immunoreceptor (ITIM) pada ekor sitoplasma CD22 difosforilasi oleh Lyn, dan reseptor penghambatan ini kemudian merekrut SHP-1, sehingga melemahkan pensinyalan reseptor sel B. Namun, tidak diketahui kapan reseptor penghambat seperti CD22 terlibat dan ligan apa yang dikenali.

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15

Toleransi sel B sentral

Limfosit B yang belum matang yang mengenali antigen diri di sumsum tulang dengan afinitas tinggi mengubah spesifisitasnya atau dihilangkan (Gambar 15.11).

Pengeditan reseptor

Jika sel B belum matang mengenali antigen diri yang ada pada konsentrasi tinggi di sumsum tulang maka memberikan sinyal kuat bagi sel. Hal tersebut terutama jika antigen disajikan dalam bentuk multivalen (misalnya, pada permukaan sel) dan banyak reseptor antigen pada setiap sel B yang terhubung silang.

Sebagaimana dibahas dalam Bab 8, salah satu konsekuensi dari pensinyalan tersebut adalah bahwa sel B mengaktifkan kembali gen RAG1 dan RAG2 mereka dan memulai putaran baru rekombinasi VJ di lokus gen rantai ringan Ig κ. Segmen Vκ hulu dari unit VκJκ yang sudah disusun kembali bergabung dengan JTC downstream.

Akibatnya, ekson VκJκ yang sebelumnya diatur ulang dalam sel B matang yang reaktif sendiri dihapus, dan rantai ringan Ig baru diekspresikan, sehingga menghasilkan reseptor sel B (BCR) dengan spesifitas baru.

Proses ini disebut pengeditan reseptor dan merupakan mekanisme penting untuk menghilangkan reaktivitas-diri dari repertoar sel B matang.

Jika penataan ulang rantai ringan yang diedit tidak produktif, penataan ulang Vκ-to-J’c tambahan akan dilakukan di lokus yang sama. Jika proses ini gagal, dapat dilanjutkan di lokus κ pada kromosom lain. Jika itu tidak produktif, dapat diikuti pengaturan ulang di lokus rantai ringan λ.

Sel B yang mengekspresikan rantai ringan λ merupakan sel yang telah mengalami pengeditan reseptor. Diperkirakan bahwa di antara sel-sel B darah perifer pada manusia, sebanyak seperempat hingga setengah dari semua sel, dan mayoritas sel λ-mengekspresikan, mungkin telah mengalami pengeditan reseptor selama pematangan mereka.

Penghapusan

Jika pengeditan gagal, sel B yang belum matang dapat mati karena apoptosis. Mekanisme penghapusan tidak terdefinisi dengan baik.

Anergi

Jika mengembangkan sel B mengenali antigen diri lemah (misalnya, jika antigen larut dan tidak menghubungkan banyak reseptor antigen atau jika BCR mengenali antigen dengan afinitas rendah), sel menjadi tidak responsif secara fungsional (anergik) dan keluar dari sumsum tulang dalam keadaan tidak responsif ini. Anergi terjadi karena penurunan ekspresi reseptor antigen dan pengeblokan sinyal reseptor antigen.

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15

Ciri umum gangguan sistem imun

Penyakit autoimun bisa bersifat sistemik atau spesifik organ, tergantung pada distribusi autoantigen yang dikenali. Misalnya, pembentukan kompleks imun yang bersirkulasi yang terdiri dari antigen diri dan antibodi spesifik biasanya menghasilkan penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE).

Sebaliknya, autoantibodi atau respon sel T terhadap antigen diri dengan distribusi jaringan terbatas menyebabkan penyakit spesifik organ, seperti miastenia gravis, diabetes tipe 1 (T1D), dan multiple sklerosis (MS).

Berbagai mekanisme efektor bertanggung jawab untuk cedera jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme ini termasuk:

  • kompleks imun
  • sirkulasi autoantibodi
  • limfosit T autoreaktif (dan dibahas dalam Bab 19).

Gambaran klinis dan patologis penyakit biasanya ditentukan oleh sifat respon autoimun yang dominan.

Penyakit autoimun cenderung kronis, progresif, dan terjadi sepanjang hidup. Hal ini dikarenakan antigen diri lah yang memicu reaksi ini terus-menerus, dan begitu respon dimulai, banyak mekanisme amplifikasi diaktifkan yang respon berkepanjangan.

Selain itu, respon yang dilakukan terhadap antigen diri yang melukai jaringan dapat:

  • menghasilkan pelepasan dan perubahan antigen jaringan lainnya
  • mengaktivasi limfosit khusus untuk antigen lain
  • memperparah penyakit.

Fenomena ini disebut penyebaran epitop, dan mungkin menjelaskan mengapa setelah penyakit autoimun berkembang, itu bisa menjadi berkepanjangan dan terjadi sepanjang hayat.

 

Diterjemahkan dari Abbas dkk, 2017, Molecular and Cellular Immunology 9th Edition, bab 15